Dunia Abad XXI kini berbeda secara signifkan dengan dunia Abad XX. Dalam skala makro setidak-tidaknya dunia Abad XXI sekarang ditandai oleh 6 (enam) kecenderungan penting, yaitu
- (i) berlangsungnya revolusi digital yang semakin luar biasa yang mengubah sendi-sendi kehidupan, kebudayaan, peradaban, dan kemasyarakatan termasuk pendidikan,
- (ii) terjadinya integrasi belahan-belahan dunia yang semakin intensif akhir internasionalisasi, globalisasi, hubunganhubungan multilateral, teknologi komunikasi, dan teknologi transportasi,
- (iii) berlangsungnya pendataran dunia (the world is flat) sebagai akibat berbagai perubahan mendasar dimensi-dimensi kehidupan manusia terutama akhir mengglobalnya negara, korporasi, dan individu,
- (iv) sangat cepatnya perubahan dunia yang menjadikan dunia tampak berlari tunggang langgang, ruang tampak menyempit, waktu terasa ringkas, dan keusangan segala sesuatu cepat terjadi,
- (v) semakin tumbuhnya masyarakat padat pengetahuan (knowledge society), masyarakat gosip (information society), dan masyarakat jaringan (network society) yang menciptakan pengetahuan, informasi, dan jaringan menjadi modal sangat penting, dan
- (vi) makin tegasnya fenomena Abad Kreatif beserta masyarakat kreatif yang menempatkan kreativitas dan penemuan sebagai modal penting untuk individu, perusahaan, dan masyarakat.
Keenam hal tersebut telah memunculkan tatanan baru, ukuran-ukuran baru, dan kebutuhan-kebutuhan gres yang berbeda dengan sebelumnya, yang harus ditanggapi dan dipenuhi oleh dunia pendidikan nasional dengan sebaik-baiknya.
Dalam skala mikro pendidikan, dunia Abad XXI kini juga ditandai oleh adanya imperatif-imperatif global pendidikan, di antaranya Pendidikan untuk Semua (PUS), Pendidikan bagi Pembangunan Berkelanjutan (ESD), Tujuan Pembangunan Milenium (MDG’s), dan Literasi Dunia bagi Pemberdayaan. Selain itu, juga ditandai oleh munculnya temuan-temuan dan pemikiran-pemikiran gres yang berkenaan dengan dimensi tertentu pendidikan, di antaranya temuan neurosains pendidikan dan pembelajaran (misalnya kekerabatan otak dan belajar), munculnya pelbagai teori kecerdasan, tumbuhnya pemikiran baru pembelajaran (misalnya blended learning, mindful learning), dan kebijakan gres bidang pendidikan dan pembelajaran.
Lebih jauh, juga muncul pergeseran peranan dan fungsi pendidikan dalam masyarakat, tugas pranata dan forum pendidikan, dan bentuk organisasional pendidikan serta keberadaan modal insan dalam pendidikan. Hal tersebut menyebabkan konsekuensi tantangan, tuntutan, dan kebutuhan baru dalam sendi-sendi pendidikan termasuk sendi-sendi pendidikan nasional Indonesia.
Sementara itu, dalam skala regional dan nasional Indonesia, Abad XXI ditandai oleh aneka macam perubahan mendasar yang paradigmatis. Selain Reformasi pada penghujung Abad XX, Indonesia memasuki Abad XXI dengan sistem kenegaraan, pemerintahan, bahkan kemasyarakatan dan kebudayaan yang baru, contohnya orientasi gres pembangunan, desentralisasi, otonomi daerah, dan demokrasi serta bonus demograf. Di samping itu, memasuki Abad XXI Indonesia mengalami keterbukaan dan interaksi global yang semakin intensif dan masif. Bagi Indonesia, bahkan tahun 2015 menjadi garis batas aktivitas aneka macam kesepakatan dan kebijakan global dan nasional Indonesia di aneka macam bidang baik bidang pendidikan maupun non-pendidikan. Berkenaan dengan bidang pendidikan, sebagai contoh, tahun 2015 merupakan tahun terakhir aktivitas kebijakan Pendidikan untuk Semua (EFA), Tujuan Pembangunan Milenium (MDG), dan aktivitas pendidikan nasional (di antaranya berakhirnya PLPG). Terkait dengan bidang non-pendidikan, tahun 2015 merupakan tahun dimulainya Masyarakat Ekonomi ASEAN, berlakunya aneka macam peraturan perundang-undangan baru, dan dimulainya kebijakan gres pemerintahan Indonesia. Oleh karena itu, tahun 2015 menjadi tonggak penting urusan pemerintahan dan kemasyarakatan Indonesia, salah satunya urusan pendidikan nasional Indonesia.
Sehubungan dengan itu, sendi-sendi pendidikan nasional Indonesia perlu ditata kembali atau ditransformasikan sedemikian rupa supaya pendidikan nasional Indonesia semakin sanggup memberi kontribusi berarti bagi kiprah dan kemajuan Indonesia dalam Abad XXI yang sudah mengalami perubahan mendasar yang paradigmatis sebagaimana telah disinggung di atas. Di samping itu, penataan kembali atau transformasi pendidikan nasional Indonesia itu dihajatkan untuk memberikan tanggapan dan tanggapan atas aneka macam tantangan, tuntutan, dan
kebutuhan gres sebagai konsekuensi aneka macam keadaan yang sudah dipaparkan di atas. Hal ini memperlihatkan bahwa penataan kembali atau transformasi pendidikan nasional Indonesia merupakan kiprah sejarah (imperatif) yang harus dikerjakan secara sungguh-sungguh. Dikatakan demikian alasannya yakni tiga alasan. Pertama, bangsa-bangsa di dunia yang sekarang mengalami kemajuan sangat berarti, contohnya Jepang, Singapura, Korea Selatan, Republik Rakyat Tiongkok, dan Finlandia, telah ditopang atau disangga oleh pendidikan yang baik, bermutu, dan maju.
Dalam aneka macam pemeringkatan pendidikan di aras global, misalnya Learning Curve, TIMMS, dan PISA, negara-negara tersebut selalu menduduki peringkat atas. Kedua, pelbagai studi internasional dan nasional perihal pendidikan Indonesia memperlihatkan justifkasi betapa mendesaknya transformasi pendidikan nasional Indonesia sekarang. Laporan-laporan Bank Dunia, UNDP, dan UNESCO perihal pendidikan Indonesia merekomendasikan transformasi secara terarah pendidikan nasional Indonesia supaya Indonesia bisa tumbuh dan berkembang dengan baik, terhindar dari jebakan-jebakan yang membawa aneka kemerosotan pada satu sisi dan pada sisi lain bisa memanfaatkan peluang-peluang yang terbuka. Ketiga, aneka macam fakta dan bukti kinerja pendidikan nasional yang telah dipublikasikan oleh berbagai pihak mengamanatkan betapa mendesaknya penataan kembali atau transformasi pendidikan nasional Indonesia secara komprehensif dan sistemis.
Penataan kembali atau transformasi pendidikan nasional Indonesia tersebut sanggup dimulai dengan menempatkan kembali karakter sebagai ruh atau dimensi terdalam pendidikan nasional berdampingan dengan intelektualitas yang tercermin dalam kompetensi. Dengan karakter yang kuat-tanggung beserta kompetensi yang tinggi, yang dihasilkan oleh pendidikan yang baik, pelbagai kebutuhan, tantangan, dan tuntutan gres yang disebut di atas sanggup dipenuhi atau diatasi. Oleh alasannya yakni itu, selain pengembangan intelektualitas, pengembangan karakter akseptor didik sangatlah penting atau utama dalam sistem pendidikan nasional Indonesia.
Dikatakan demikian alasannya yakni pada dasarnya pendidikan bertujuan membuatkan potensi-potensi intelektual dan abjad akseptor didik. Hal ini telah ditandaskan oleh berbagai pemikiran perihal pendidikan dan aneka macam peraturan perundang-undangan perihal pendidikan. Sebagai contoh, beberapa puluh tahun kemudian Ki Hadjar Dewantara, bapak pendidikan Indonesia, telah menandaskan secara eksplisit bahwa “Pendidikan yakni daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya kecerdikan pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelec) dan badan anak. Bagian-bagian itu tidak boleh
dipisahkan supaya kita sanggup memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita” (Karya Ki Hadjar Dewantara Buku I: Pendidikan). Demikian juga laporan Delors untuk pendidikan Abad XXI, sebagaimana tercantum dalam buku Pembelajaran: Harta Karun di Dalamnya, menegaskan bahwa pendidikan Abad XXI bersandar pada lima tiang pembelajaran sejagat (fve pillar of learning), yaitu learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be serta learning to transform for oneself and society.
Dalam pada itu, dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 perihal Sistem Pendidikan Nasional telah ditegaskan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi membuatkan kemampuan dan membentuk tabiat serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi akseptor didik supaya menjadi insan yang beriman dan bertakwa kepada Yang Mahakuasa Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Selanjutnya, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 perihal Standar Nasional juga terpapar secara tersurat aneka macam kompetensi yang bersangkutan dengan abjad di samping intelektualitas. Hal tersebut menandakan bahwa bahwasanya pendidikan bertugas membuatkan karakter sekaligus intelektualitas berupa kompetensi akseptor didik.
Sehubungan dengan itu, penyelenggaraan pendidikan nasional terutama pendidikan dasar dan menengah sanggup dikatakan sudah berada pada jalur yang tepat, on the track, dikarenakan telah mendidikkan karakter sekaligus membentuk intelektualitas berupa kompetensi. Meskipun demikian, proporsi pendidikan abjad dengan pendidikan intelektual belum berimbang akhir aneka macam faktor. Usaha penyeimbangan pendidikan abjad dengan pembentukan kompetensi senantiasa harus dilakukan. Demi kepentingan masa depan bangsa Indonesia, bahkan semenjak kini perlu dilakukan pemusatan (centering) pendidikan abjad dalam penyelenggaraan pendidikan nasional Indonesia.
Kesadaran sekaligus perjuangan pemusatan pendidikan karakter di jantung pendidikan nasional semakin berpengaruh ketika pada tahun 2010 pemerintah Indonesia mencanangkan sekaligus melaksanakan kebijakan Gerakan Nasional Pendidikan Karakter berlandaskan Rencana Aksi Nasional (RAN) Pendidikan Karakter Bangsa. Hal tersebut perlu dilanjutkan, dioptimalkan, diperdalam, dan bahkan diperluas sehingga diperlukan penguatan pendidikan abjad bangsa. Untuk itu, sejak sekarang perlu dilaksanakan Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) dengan mengindahkan asas keberlanjutan dan kesinambungan.
Gerakan PPK menempati kedudukan mendasar dan strategis pada saat pemerintah mencanangkan revolusi abjad bangsa sebagaimana tertuang dalam Nawacita (Nawacita 8), menggelorakan Gerakan Nasional Revolusi Mental, dan menerbitkan RPJMN 2014—2019 berlandaskan Nawacita. Sebab itu, Gerakan PPK sanggup dimaknai sebagai pengejawantahan Gerakan Revolusi Mental sekaligus penggalan integral Nawacita. Sebagai pengejawantahan Gerakan Nasional Revolusi Mental sekaligus penggalan integral Nawacita, Gerakan PPK menempatkan pendidikan abjad sebagai dimensi terdalam atau jantung-hati (heart) pendidikan nasional sehingga pendidikan abjad menjadi poros pelaksanaan pendidikan dasar dan menengah.
Lebih lanjut, Gerakan PPK perlu mengintegrasikan, memperdalam, memperluas, dan sekaligus menyelaraskan aneka macam jadwal dan kegiatan pendidikan karakter yang sudah dilaksanakan hingga sekarang. Dalam hubungan ini pengintegrasian sanggup berupa pemaduan kegiatan kelas, luar kelas di sekolah, dan luar sekolah (masyarakat/komunitas); pemaduan kegiatan intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler; pelibatan secara serempak warga sekolah, keluarga, dan masyarakat; perdalaman dan perluasan dapat berupa penambahan dan pengintensifan kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada pengebangan abjad siswa, penambahan dan pemajangan kegiatan berguru siswa, dan pengaturan ulang waktu belajar siswa di sekolah atau luar sekolah;
kemudian penyelerasan sanggup berupa penyesuaian kiprah pokok guru, Manajemen Berbasis Sekolah, dan fungsi Komite Sekolah dengan kebutuhan Gerakan PPK. Baik pada masa sekarang maupun masa akan datang, pengintegrasian, pendalaman, perluasan, dan penyelarasan jadwal dan kegiatan pendidikan karakter tersebut perlu diabdikan untuk mewujudkan revolusi mental atau revolusi abjad bangsa. Dengan demikian, Gerakan PPK merupakan jalan perwujudan Nawacita dan Gerakan Revolusi Mental di samping menjadi poros kegiatan pendidikan yang berujung pada terciptanya revolusi abjad bangsa.